Hidayatullah.com, Di zaman kredit yang relatif murah dan mudah sekarang ini, siapa yang tidak punya hutang? Beli motor, hutang. Beli rumah, hutang. Beli komputer, hutang. Sebagian ibu rumah tangga juga gemar memenuhi rumahnya dengan perabotan yang dibeli secara berhutang, mulai dari kulkas, televisi, VCD player, dipan, almari, sampai panci dan alat penggorengan. Bahkan, ada juga yang naik haji dengan – difasilitasi oleh – hutang!
Lalu, apakah berhutang itu tercela dan dilarang? Bukan begitu. Hutang samasekali tidak dilarang. Bahkan, ayat terpanjang dalam Al-Qur’an justru membicarakan masalah hutang. Silakan periksa surah al-Baqarah: 282.
Secara terinci sekali Allah membimbing kita bagaimana caranya mengelola transaksi hutang-piutang ini, nyaris sama dengan cara Allah mengajari kita bagaimana membagi harta warisan. Berbagai kemungkinan diantisipasi di dalamnya, mulai dari pencatatan, persaksian, saksi cadangan, jaminan, wali, dan lain sebagainya. Sepertinya, di dunia ini tidak ada Kitab Suci yang membicarakan hutang-piutang dan transaksi keuangan, serta mendudukkannya pada posisi yang tidak kalah pentingnya dengan masalah-masalah spiritual, selain Al-Qur’an. Akan tetapi, yang hendak kita waspadai adalah penyakit-penyakit yang kerapkali muncul akibat berhutang itu.
Karena pentingnya urusan hutang ini dengan aherat, maka Rasulullah saw bersabda, “Jika engkau terbunuh di jalan Allah dalam kondisi bersabar mengharap ridha Allah dan maju tak gentar tidak mundur, maka Allah akan menebus kesalahan-kesalahanmu KECUALI HUTANG. Begitulah yang dikatakan Jibril kepadaku barusan.” [HR Abu Dawud].
Jadi, urusan hutang ini adalah urusan akherat. Sebab gara-gara hutang belum terselesaikan, semua amalan-amalan kita bisa lenyap.
Masalahnya, banyak kaum Muslim saat ini terjerat dengan sistem ribawi. Di mana mereka dibuat bangga menjadi penghutang. Salah satu contohnya adalah pengguna kartu kredit. Bagaimana orang dibuat bangga menjadi “penghutang” dan boros. Kasus terakhir adalah pembunuhan terhadap Nasabah Citibank yang tewas setelah dihajar debt collector akibat tunggakan hutang.
Betapa jauh serta mendalamnya pandangan Nabi terhadap persoalan ini. Jelas sudah, bukan berhutangnya yang dilarang. Tetapi, beliau meminta kita berhati-hati terhadap hutang karena ia potensial memicu dua kesalahan besar, yaitu: berbohong dan ingkar janji.
Mari kita amati. Ketika seseorang terhimpit hutang dan tidak sanggup melunasinya, sangat mungkin ia berbohong dan ingkar janji. Betapa beratnya untuk secara jujur dan gentle mengakui tidak mampu serta meminta keringanan. Adakalanya karena malu, gengsi, sungkan, atau niat-niat yang tidak baik.
Misalnya, ketika tagihan datang, bisa saja ia justru berdusta dengan mengatakan bahwa sebenarnya punya uang sekian-sekian tapi masih dibawa si fulan, atau punya aset begini-begitu dan sekarang dalam proses penjualan. Padahal, sebenarnya tidak ada samasekali. Atau, ia berjanji pada tanggal sekian akan segera membayar, namun kemudian mengingkarinya.
Maka, Rasulullah pun mengajari kita untuk memohon perlindungan kepada Allah dari berhutang ini, sebab beliau khawatir kita akan berbohong dan mengingkari janji. Mengapa keduanya sangat berbahaya?
Sebuah hadits lain akan menjelaskan letak masalahnya. Nabi bersabda, “Ada empat sifat, siapa saja yang keempatnya ada dalam dirinya, maka dia adalah seorang munafik sejati. Tetapi, siapa saja yang dalam dirinya terdapat salah satu darinya, maka di dalam dirinya terdapat salah satu sifat munafik sampai ia meninggalkannya. Yaitu: jika dipercaya ia khianat, jika berbicara ia bohong, jika berjanji ia ingkar, dan jika berdebat/bersengketa dia akan curang/zhalim.” (Riwayat Bukhari dan Muslim, dari ‘Abdullah bin ‘Amru bin ‘Ash).
Jadi, adakalanya berhutang akan menjerumuskan kita ke dalam kemunafikan tanpa sadar. Jika saja seseorang banyak berhutang, lalu dalam transaksi-transaksi ini dia sering berbohong atau mengingkari janjinya, bisa dipastikan ia tengah mendidik dirinya sendiri untuk menjadi munafik. Pelan-pelan, ia akan terjerat jaring-jaring kemunafikan, hingga suatu saat sudah tak bisa lepas lagi. Seluruh bagian dirinya dipenuhi kebohongan, kepalsuan, tidak bisa dipercaya, pendeknya: tipuan. Dan, inilah hakikat munafik itu sendiri: menampakkan iman tetapi menyimpan kekufuran. Na’udzu billah.
Allah berfirman dalam Al-Qur’an;
وَمِنَ النَّاسِ مَن يَقُولُ آمَنَّا بِاللّهِ وَبِالْيَوْمِ الآخِرِ وَمَا هُم بِمُؤْمِنِينَ
يُخَادِعُونَ اللّهَ وَالَّذِينَ آمَنُوا وَمَا يَخْدَعُونَ إِلاَّ أَنفُسَهُم وَمَا يَشْعُرُونَ
فِي قُلُوبِهِم مَّرَضٌ فَزَادَهُمُ اللّهُ مَرَضاً وَلَهُم عَذَابٌ أَلِيمٌ بِمَا كَانُوا يَكْذِبُونَ
“Di antara manusia ada yang mengatakan: "Kami beriman kepada Allah dan Hari Akhir,” padahal mereka itu sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman. Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang yang beriman, padahal mereka hanya menipu dirinya sendiri, sedang mereka tidak menyadarinya. Di dalam hati mereka ada penyakit, lalu Allah semakin memperparah penyakitnya; dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta.” (Qs. al-Baqarah: 8-10).
Dengan kata lain, ketika beliau mengajari kita untuk “berlindung dari himpitan hutang”, beliau sebenarnya sangat khawatir jika kita terjangkiti penyakit nifaq. Beliau tidak melarang berhutang, karena hutang-piutang adalah bagian dari interaksi normal dalam kehidupan, dan di dalamnya pun terkandung sikap tolong-menolong yang dianjurkan Islam.
Hanya saja, jika kita harus berhutang, beliau meminta kita untuk sangat berhati-hati, yakni jangan sampai terjatuh dalam kebiasaan berbohong dan ingkar janji; yang merupakan bagian dari kemunafikan. Sebab, ancaman Allah sangatlah berat kepada sifat yang satu ini.
Allah berfirman;
إِنَّ الْمُنَافِقِينَ فِي الدَّرْكِ الأَسْفَلِ مِنَ النَّارِ وَلَن تَجِدَ لَهُمْ نَصِيراً
“Sesungguhnya orang-orang munafik itu (ditempatkan) pada tingkatan yang paling bawah dari neraka. Kamu sekali-kali tidak akan mendapat seorang penolong pun bagi mereka.” (Qs. an-Nisa’: 145).
Maka, mohonlah pertolongan Allah, dan berhati-hatilah! Semoga kita tidak terjangkiti penyakit gemar berbohong dan ingkar janji gara-gara hutang.
Diceritakan oleh ummul mu’minin ‘Aisyah, bahwa Rasulullah pernah berdoa dalam shalatnya, agar terlindung dari himpitan hutang.
“Ya Allah, sungguh aku berlindung kepada-Mu dari siksa kubur. Aku berlindung kepada-Mu dari fitnah al-Masih Dajjal. Aku berlindung kepada-Mu dari fitnah kehidupan dan kematian. Dan, aku berlindung kepada-Mu dari pemicu dosa dan himpitan hutang.” Lalu, ada seseorang yang berkata kepada beliau, “Betapa seringnya Anda memohon perlindungan dari hutang, wahai Rasulullah.” Beliau menanggapi, “Sungguh seseorang itu, bila terhimpit hutang, ia berbicara lalu bohong, dan berjanji lalu ingkar.” (Riwayat Bukhari dan Muslim).
Mudah-mudahan kita terhindang dari himpitan hutang, berbohong serta inkar janji/ Amin. Wallahu a’lam.*/M. Alimin Mukhtar
Lalu, apakah berhutang itu tercela dan dilarang? Bukan begitu. Hutang samasekali tidak dilarang. Bahkan, ayat terpanjang dalam Al-Qur’an justru membicarakan masalah hutang. Silakan periksa surah al-Baqarah: 282.
Secara terinci sekali Allah membimbing kita bagaimana caranya mengelola transaksi hutang-piutang ini, nyaris sama dengan cara Allah mengajari kita bagaimana membagi harta warisan. Berbagai kemungkinan diantisipasi di dalamnya, mulai dari pencatatan, persaksian, saksi cadangan, jaminan, wali, dan lain sebagainya. Sepertinya, di dunia ini tidak ada Kitab Suci yang membicarakan hutang-piutang dan transaksi keuangan, serta mendudukkannya pada posisi yang tidak kalah pentingnya dengan masalah-masalah spiritual, selain Al-Qur’an. Akan tetapi, yang hendak kita waspadai adalah penyakit-penyakit yang kerapkali muncul akibat berhutang itu.
Karena pentingnya urusan hutang ini dengan aherat, maka Rasulullah saw bersabda, “Jika engkau terbunuh di jalan Allah dalam kondisi bersabar mengharap ridha Allah dan maju tak gentar tidak mundur, maka Allah akan menebus kesalahan-kesalahanmu KECUALI HUTANG. Begitulah yang dikatakan Jibril kepadaku barusan.” [HR Abu Dawud].
Jadi, urusan hutang ini adalah urusan akherat. Sebab gara-gara hutang belum terselesaikan, semua amalan-amalan kita bisa lenyap.
Masalahnya, banyak kaum Muslim saat ini terjerat dengan sistem ribawi. Di mana mereka dibuat bangga menjadi penghutang. Salah satu contohnya adalah pengguna kartu kredit. Bagaimana orang dibuat bangga menjadi “penghutang” dan boros. Kasus terakhir adalah pembunuhan terhadap Nasabah Citibank yang tewas setelah dihajar debt collector akibat tunggakan hutang.
Betapa jauh serta mendalamnya pandangan Nabi terhadap persoalan ini. Jelas sudah, bukan berhutangnya yang dilarang. Tetapi, beliau meminta kita berhati-hati terhadap hutang karena ia potensial memicu dua kesalahan besar, yaitu: berbohong dan ingkar janji.
Mari kita amati. Ketika seseorang terhimpit hutang dan tidak sanggup melunasinya, sangat mungkin ia berbohong dan ingkar janji. Betapa beratnya untuk secara jujur dan gentle mengakui tidak mampu serta meminta keringanan. Adakalanya karena malu, gengsi, sungkan, atau niat-niat yang tidak baik.
Misalnya, ketika tagihan datang, bisa saja ia justru berdusta dengan mengatakan bahwa sebenarnya punya uang sekian-sekian tapi masih dibawa si fulan, atau punya aset begini-begitu dan sekarang dalam proses penjualan. Padahal, sebenarnya tidak ada samasekali. Atau, ia berjanji pada tanggal sekian akan segera membayar, namun kemudian mengingkarinya.
Maka, Rasulullah pun mengajari kita untuk memohon perlindungan kepada Allah dari berhutang ini, sebab beliau khawatir kita akan berbohong dan mengingkari janji. Mengapa keduanya sangat berbahaya?
Sebuah hadits lain akan menjelaskan letak masalahnya. Nabi bersabda, “Ada empat sifat, siapa saja yang keempatnya ada dalam dirinya, maka dia adalah seorang munafik sejati. Tetapi, siapa saja yang dalam dirinya terdapat salah satu darinya, maka di dalam dirinya terdapat salah satu sifat munafik sampai ia meninggalkannya. Yaitu: jika dipercaya ia khianat, jika berbicara ia bohong, jika berjanji ia ingkar, dan jika berdebat/bersengketa dia akan curang/zhalim.” (Riwayat Bukhari dan Muslim, dari ‘Abdullah bin ‘Amru bin ‘Ash).
Jadi, adakalanya berhutang akan menjerumuskan kita ke dalam kemunafikan tanpa sadar. Jika saja seseorang banyak berhutang, lalu dalam transaksi-transaksi ini dia sering berbohong atau mengingkari janjinya, bisa dipastikan ia tengah mendidik dirinya sendiri untuk menjadi munafik. Pelan-pelan, ia akan terjerat jaring-jaring kemunafikan, hingga suatu saat sudah tak bisa lepas lagi. Seluruh bagian dirinya dipenuhi kebohongan, kepalsuan, tidak bisa dipercaya, pendeknya: tipuan. Dan, inilah hakikat munafik itu sendiri: menampakkan iman tetapi menyimpan kekufuran. Na’udzu billah.
Allah berfirman dalam Al-Qur’an;
وَمِنَ النَّاسِ مَن يَقُولُ آمَنَّا بِاللّهِ وَبِالْيَوْمِ الآخِرِ وَمَا هُم بِمُؤْمِنِينَ
يُخَادِعُونَ اللّهَ وَالَّذِينَ آمَنُوا وَمَا يَخْدَعُونَ إِلاَّ أَنفُسَهُم وَمَا يَشْعُرُونَ
فِي قُلُوبِهِم مَّرَضٌ فَزَادَهُمُ اللّهُ مَرَضاً وَلَهُم عَذَابٌ أَلِيمٌ بِمَا كَانُوا يَكْذِبُونَ
“Di antara manusia ada yang mengatakan: "Kami beriman kepada Allah dan Hari Akhir,” padahal mereka itu sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman. Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang yang beriman, padahal mereka hanya menipu dirinya sendiri, sedang mereka tidak menyadarinya. Di dalam hati mereka ada penyakit, lalu Allah semakin memperparah penyakitnya; dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta.” (Qs. al-Baqarah: 8-10).
Dengan kata lain, ketika beliau mengajari kita untuk “berlindung dari himpitan hutang”, beliau sebenarnya sangat khawatir jika kita terjangkiti penyakit nifaq. Beliau tidak melarang berhutang, karena hutang-piutang adalah bagian dari interaksi normal dalam kehidupan, dan di dalamnya pun terkandung sikap tolong-menolong yang dianjurkan Islam.
Hanya saja, jika kita harus berhutang, beliau meminta kita untuk sangat berhati-hati, yakni jangan sampai terjatuh dalam kebiasaan berbohong dan ingkar janji; yang merupakan bagian dari kemunafikan. Sebab, ancaman Allah sangatlah berat kepada sifat yang satu ini.
Allah berfirman;
إِنَّ الْمُنَافِقِينَ فِي الدَّرْكِ الأَسْفَلِ مِنَ النَّارِ وَلَن تَجِدَ لَهُمْ نَصِيراً
“Sesungguhnya orang-orang munafik itu (ditempatkan) pada tingkatan yang paling bawah dari neraka. Kamu sekali-kali tidak akan mendapat seorang penolong pun bagi mereka.” (Qs. an-Nisa’: 145).
Maka, mohonlah pertolongan Allah, dan berhati-hatilah! Semoga kita tidak terjangkiti penyakit gemar berbohong dan ingkar janji gara-gara hutang.
Diceritakan oleh ummul mu’minin ‘Aisyah, bahwa Rasulullah pernah berdoa dalam shalatnya, agar terlindung dari himpitan hutang.
“Ya Allah, sungguh aku berlindung kepada-Mu dari siksa kubur. Aku berlindung kepada-Mu dari fitnah al-Masih Dajjal. Aku berlindung kepada-Mu dari fitnah kehidupan dan kematian. Dan, aku berlindung kepada-Mu dari pemicu dosa dan himpitan hutang.” Lalu, ada seseorang yang berkata kepada beliau, “Betapa seringnya Anda memohon perlindungan dari hutang, wahai Rasulullah.” Beliau menanggapi, “Sungguh seseorang itu, bila terhimpit hutang, ia berbicara lalu bohong, dan berjanji lalu ingkar.” (Riwayat Bukhari dan Muslim).
Mudah-mudahan kita terhindang dari himpitan hutang, berbohong serta inkar janji/ Amin. Wallahu a’lam.*/M. Alimin Mukhtar
Bookmark this post: |
0 komentar:
Posting Komentar