Kekerasan-identik  dengan golongan fundamentalisme yang bertindak radikal, betapa tidak  mereka yang menganut paham ini selalu berfikir dasar. Sehingga dalm  menganalisa persoalan tanpa tafsir. Memasuki milenium abad ke-21,  Indonesia negeri tercinta ini mengalami perubahan atas pengaruh ini,  fenomena tersebut bersentuhan dalam konteks  sosial-politik-ekonomi-seni-budaya dan agama.
Kasus  penganiyaan terhadap kyai yang dilakukan Komando Laskar Islam (KLI) dan  Front Pembela Islam (FPI) terhadap Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan  Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB) 1 Juni 2008[1]  sungguh menghentakkan bangsa ini. Sangat disayangkan, organisasi yang  mengatasnamakan agama sebagai ideologi melakukan tindakan anarki dan  kekerasan. Oleh publik awam, agama dianggap berada di balik aksi nan  anarkistis tersebut.
Agama  yang sesungguhnya memiliki arti sangat ideal sebagai perekat tali  persaudaraan ternyata berbalik arah menjadi alat legitimasi perilaku  yang amat menakutkan dan mengerikan. Dalam konteks ini, siapa yang  sebenarnya bertanggung jawab atas aksi kekerasan tersebut? Agama ataukah  para penganutnya yang melakukan tindak kekerasan? Tidak ada satu pun  agama di dunia ini yang mengajarkan dan memperbolehkan kekerasan,  termasuk di dalam Islam. Agama hadir untuk menciptakan perdamaian di  dunia. Fundamentalisme agamalah yang selama ini disebut sebagai akar  kekerasan. Dalam perjalanan sejarah yang panjang, agama ditumbuhi  fenomena fundamentalisme.
Publik-masyarakat  luas sepakat bahwa aliran yang menganggap adanya nabi setelah Muhamad  SAW merupakan aliran yang sesat harus ditertibkan, tetapi hal ini banyak  yang menyayangkan atas tindak kekerasan ini karena menimbukan citra  negative atas islam. Dalam al-Quran jelas ditegaskan bahwa segala mereka  yang telah kami berikan Al-Kitab, baik dari golongan Yahudi, maupun  dari Nasrani, mengakui bahwa Al-Qur’an itu Haq yang diturunkan dari sisi  Allah, melengkapi cahaya dan petunjuk dan kitab-kitabnya mengandung  basjarah dan petunjuk tentang kenabian muhamad yang tidak tesembunyi  lagi nama-nama di masa Al-Qur’an sedang diturunkan[2].
Indiksi  adanya “Budaya Kekearasan” di tengah masyarakat, tampak menjadi  panorama sosial yang tidak mudah dicari jalan keluarnya. Terlebih lagi,  jika berkaitan dengan masalah-masalah hukum publik, hak asasi manusia  (HAM) dan persoalan agama. Jangan jadikan masyarakat luas menjadi korban  sosial dengan memperdagangkan agama.
Kekerasan Agama
Dalam bukunya yang berjudul Kekerasan Agama Tanpa Agama,  Thomas Santoso mengatakan bahwa menurut pendapat para ahli biologi,  fisiologi, dan psikologi, manusia melakukan kekerasan karena  kecenderungan bawaan (innate) atau sebagai konsekuensi dari  kelainan genetik atau fisiologis. Kelompok pertama (ahli biologi)  meneliti hubungan kekerasan dengan keadaan biologis manusia, namun  mereka gagal memperlihatkan faktor-faktor biologis sebagai penyebab  kekerasan. Juga belum ada bukti ilmiah yang menyimpulkan bahwa manusia  dari pembawaannya memang suka kekerasan.[3]
Kekerasan  politik-agama dalam kerusuhan dipengaruhi secara bersamaan oleh tekanan  struktur sosial yang meghimpit mereka dalam kehidupan sehari-hari  akibat perlakuan yang tidak adil, tidak jujur, serta motivasi dan  kepentingan pribadi yang bersangkutan. Akumulasi kemarahan dan frustasi  di tengah kehidupan sehari-hari, di samping emotional illiteracy  (buta emosi) dan ketidakmampuan mengekspresikan emosi secara cerdas  serta cara yang ditempuh ternyata tidak membuahkan hasil, telah  dibelokkan menjadi kekerasan massa (deflected aggression) terhadap sasaran-sasaran utama yang sudah ditentukan sebelumnya (precipitating factor)[4]
Agama  semestinya tidak menimbulkan kekerasan. Namun fakta menunjukkan bahwa  agama dapat menimbukan kekerasan apabila berhubungan dengan faktor lain,  misal kepentingan kelompok/nasional atau penindasan politik. Agama  dapat disalahgunakan dan disalaharahkan baik dari sisi eksternal maupun  internal. Dari sisi eksternal, agama profetik (kenabian) seperti Islam  dan Kristen, cenderung melakukan kekerasan segera setelah identitas  mereka terancam. Dari sisi internal, agama profetik cenderung melakukan  kekerasan karena merasa yakin tindakannya berdasar kehendak Tuhan. Oleh  karena itu, pemahaman agama atau bagaiamana agama diinterpretasi  merupakan salah satu alasan yang mendasari kekerasan politik-agama.
Kekerasan  juga sering diidentikkan dengan terorisme yang mengandung arti  menakut-nakuti. Kata tersebut berasal dari bahasa Latin terrere  (“menyebabkan ketakutan”), dan digunakan secara umum dalam pengertian  politik sebagai serangan terhadap tatanan sipil selama Rejim Teror pada  masa Revolusi Perancis akhir abad XVIII. Dalam hal ini, respons publik  terhadap kekerasan sebagai akibat yang ditimbulkan oleh  terorisme—merupakan bagian dari makna istilah tersebut. Madeline  Albright, membuat daftar tiga puluh organisasi teroris dunia yang paling  berbahaya, lebih dari setengahnya bersifat keagamaan. Mereka terdiri  dari  kaum Yahudi, muslim, dan Buddhis. Warren Christopher, menyatakan  bahwa aksi-aksi teroris agama dan identitas etnis telah menjadi “salah  satu tantangan keamanan terpenting yang kita hadapi dalam kaitan dengan  bangkitnya Perang Dingin.” [5]
Maka,  saya ingin menegaskan bahwa dalam memandang persoalan jangan  sepotong-sepotong. Sehingga menimbulkan tindakan kekerasan yang pada  akhirnya menimbulkan konflik yang menyudutkan Islam, dan mengganggu  kenyaman umat dalam kehidupan sehai-hari. Pertanyaannya adalah apakah  tindakan tersebut benar menjadikan agama sebagai komoditas tertentu  untuk kepentingan pribadi***
Bookmark this post:  | 

0 komentar:
Posting Komentar