

Helena Petrovna Blavatsky
 Jargon-jargon tersebut pada masa itu disuarakan oleh para humanis  Eropa, yaitu mereka yang mengusung paham humanisme sebagai pokok  tertinggi dalam kehidupan, yang mana kebanyakan dari mereka adalah para  penganut Theosofi ataupun Freemasonry yang datang ketika Indonesia masih  bernama Hindia Timur atau sering disebut Hindia Belanda. 
 Tak salah jika  menyebut bahwa Theosofi memberikan nuansa bagi  cikal bakal pluralisme di Indonesia. Karena, disamping para anggotanya  dari beragam etnis, bangsa, dan agama, Theosofi juga mengajarkan  kesamaan semua agama-agama (trancendent unity of religion) dan kesamaan  Tuhan (trancendent unity of God) sebagaimana tercermin dalam pemikiran  para tokohnya seperti Madame Blavatsky dan Annie Besant. Ujungnya,  mereka ingin membangun sebuah persaudaraan universal, dengan menghapus  sekat-sekat agama. Ajaran-ajaran masing-masing agama dihapus dengan  nilai-nilai universal yang berlandaskan pada paham humanisme. 
 Sejarawan Robert Van Niels dalam buku "Munculnya Elit Modern  Indonesia" menyatakan bahwa orang-orang Eropa yang datang ke Hindia  Timur pada masa lalu memiliki peranan penting bagi munculnya elit modern  Indonesia. Orang-orang Eropa yang datang pada masa itu, adalah para  humanis yang tak hanya bekerja sebagai pegawai kolonial, tetapi juga  membawa serta pemikiran dan kebudayaan mereka. Sejak tahun 1870, kata  Van Niels, kota-kota di Jawa tidak hanya menjadi pusat perdagangan  orang-orang Eropa, namun juga menjadi tempat bersemainya kebudayaan dan  pemikiran yang mereka bawa. 
 Selanjutnya pada masa 1900-an organisasi seperti Theosofi dan  Freemason makin berkembang pesat, khususnya di Tanah Jawa dengan  munculnya loge-loge tempat pertemuan mereka di berbagai daerah. Karena  itu, tak berlebihan jika Theosofi dan Freemason disebut sebagai  organisasi yang bergeliat bersama gerak laju kolonialisme di negeri ini,  yang kemudian secara tidak langsung melalui elit-elit nasional yang  direkrut menjadi anggotanya, mempengaruhi gerak laju nasionalisme negeri  ini juga. 
 Dalam kata pengantar buku "Teosofi, Nasionalisme dan Elit Modern"  Prof. David Reeve dari Universitas New South Wales Australia menyatakan,  "Dalam lingkaran orang-orang nasionalis yang sekular, begitu banyak  orang-orang yang memiliki hubungan dengan Gerakan Theosofi, "tulisnya.  Prof Reeve juga menyatakan, para aktifis Teosofi yang merupakan elit  nasional pada masa lalu adalah orang-orang yang juga banyak terlibat  dalam perumusan naskah UUD 1945, meskipun ia tak berani menyatakan bahwa  prinsip-prinsip dasar Theosofi mempengaruhi pola pikir mereka dalam  menyusun UUD tersebut. 
 Nama-nama seperti Mohammad Yamin, Prof. Soepono, dan Radjiman  Wediodiningrat, adalah tokoh-tokoh Badan Penyelidik Usaha Persiapan  Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang banyak menyampaikan gagasan-gagasan  soal prinsip-prinsip dasar negara ketika itu. Bahkan Radjiman, yang  merupakan tokoh penting dalam Gerakan Theosofi dan anggota resmi  kelompok Freemason, adalah ketua sidang BPUPKI, sidang yang kemudian  menghasilkan Pancasila sebagai dasar negara. Sedangkan Mohammad Yamin  termasuk orang yang berkontribusi besar dalam merumuskan lambang negara  Pancasila. 
 Tokoh-tokoh nasional lain yang sangat dekat dengan Gerakan Theosofi  adalah Mohammad Tabrani (Tokoh kongres Pemuda Pertama pada 1926'Ketua  Pemuda Theosofi), Ki Sarmidi Mangoensarkoro (Tokoh Taman Siswa), Ki  Hadjar Dewantara (Tokoh Taman Siswa), Tjipto Mangoenkoesomo (Tokoh Boedi  Oetomo), Goenawan Mangoenkoesoemo (Tokoh Boedi Oetomo), Armin Pane  (Sastrawan), Sanoesi Pane (Sastrawan), Mohammad Amir (tokoh Jong  Sumatrenan Bond), Datoek Soetan Maharadja (tokoh kaum adat Minangkabau),  Siti Soemandari (pemimpin Majalah Bangoen), dan tokoh-tokoh nasional  lainnya, terutama yang berasal dari Keraton Paku Alaman Yogyakarta,  organisasi Tri Koro Dharmo, Jong Java, Boedi Oetomo, Perhimpoenan Goeroe  Hindia Belanda (PGHB/cikal bakal PGRI), dan para alumnus Sekolah  Pendidikan Dokter Hindia (School tot Opleiding van Indische  Artsen/STOVIA) di Batavia. 
 Pada masa berkembangnya Gerakan Theosofi, gesekan-gesekan pemikiran  dengan tokoh-tokoh Islam yang berasal dari Sarekat Islam berlangsung  sengit. Bahkan rivalitas antara Boedi Oetomo dan Sarekat Islam,  diantaranya juga berpangkal dari pemahaman soal keyakinan dan pemahaman  Islam. 
 Tokoh Boedi Oetomo, seperti Goenawan Mangoenkoesomo dan Radjiman  Wediodiningrat cenderung bersikap konfrontatif terhadap aspirasi Islam.  Sehingga tak heran, jika Prof Reeve sebagai akademisi yang pernah  meneliti Gerakan Theosofi, menyatakan, "Perkumpulan Teosofi mengaku  terbuka untuk semua agama, namun tampaknya mereka menjalin sangat  sedikit persentuhan dengan Islam," jelasnya. 
 Bukti kedekatan Gerakan Theosofi dengan Boedi Oetomo terlihat dalam  Perayaan 10 Tahun Organisasi Boedi Oetomo pada 1918 yang berlangsung di  Loge Theosofi, di De Ruijstestraat 67 Den Haag, Belanda. Dalam perayaan  tersebut, tokoh-tokoh Boedi Oetomo dan mahasiswa Indonesia, termasuk Ki  Hadjar Dewantara dan Goenawan Mangoenkoesomo, menggelar perayaan dan  peluncuran buku Soembangsih:Gedenkboek Boedi Oetomo 1908-20 Mei1918.  Dalam buku itu, Goenawan Mangoenkoesomo menulis, "Bagaimanapun tinggi  nilai kebudayaan Islam, ternyata tidak mampu menembus hati rakyat. Bapak  penghulu boleh saja supaya kita mengucap syahadat, "Hanya ada satu  Allah dan Muhammad-lah Nabi-Nya", tetapi dia tidak akan bisa berbuat  apa-apa bila cara hidup kita, jalan pikiran kita, masih tetap seperti  sewaktu kekuasaan Majapahit dihancurkan secara kasar oleh Demak,"  tulisnya. 
 Gerakan Theosofi di Indonesia meninggalkan jejak sejarah yang  panjang di negeri ini. Beberapa tokoh yang dikemudian hari menjadi elit  nasional di negeri ini, tak lepas dari persentuhannya dengan aliran  kebatinan Yahudi ini. Baik sebagai anggota resmi, ataupun sekadar  berinteraksi dengan kelompok ini. Pada masa lalu, untuk mengenang  keberadaan Gerakan Theosofi, beberapa tempat di Jawa, menggunakan  nama-nama dari tokoh Theosofi. Seperti Blavatsky Park di Batavia, Olcott  Park di Bandung, dan Besant Square di Semarang. Nama-nama itu merujuk  pada tokoh-tokoh Theosofi: Madame H.P Blavatsky, Henry Steel Olcott, dan  Annie Besant. 
 Sejawaran Universitas Indonesia, Harsja W. Bachtiar menggambarkan  tentang apa dan siapa Gerakan Theosofi itu. Dalam sebuah tulisan  mengenai Moh. Amir, tokoh Jong Sumatrenan Bond (JSB) yang juga anggota  Theosofi, Harsja menulis, "Theosophical Society (Perkumpulan Theosofi),  yang dicipta oleh Madame H.P. Blavatsky, seorang bangsawan Rusia, dan  Henry Steel Olcott, seorang penganut kebatinan, di New York tahun 1875,  dan yang kemudian dipimpin oleh Annie Besant, berusaha mencari kearifan  Tuhan, ajaran-ajaran kebatinan seperti Karma dan Reinkarnasi, menyatukan  sekalian agama, dan menyatukan agama dan ilmu pengetahuan,"tulisnya. 
 Harsja W. Bachtiar kemudian menuliskan bahwa beberapa orang yang  dikemudian hari menjadi elit nasional masuk menjadi anggota perkumpulan  Dienaren van Indie (Abdi Hindia), sebuah perkumpulan yang didirikan oleh  Gerakan Theosofi. Mereka adalah Mohammad Hatta, Djamaluddin Adinegoro  (tokoh pers Indonesia), Mohammad Jamin (tokoh Jong Sumatrenan Bond), dan  Bahder Djohan (mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada kabinet  Natsir dan Wilopo). Tokoh-tokoh lain yang menjadi anggota Dienaren van  Indie selain yang disebutkan oleh sejarawan Harsja W. Bachtiar tersebut  adalah, Siti Soemandari (tokoh perempuan Indonesia), Ki Sarmidi  Mangoensarkoro (tokoh pendidikan Indonesia), Prof. Soepomo (salah  seorang perumus UUD 45), dan Prof. Soekanto (tokoh kepolisian  Indonesia). 
 Perkumpulan Dienaren van Indie yang dipimpin oleh tokoh Theosofi  Ir. A.J.H van Leeuwen memberikan beasiswa pendidikan (studie fond)  kepada tokoh-tokoh tersebut. Untuk menyatakan keanggotaan mereka, pada  nama belakang mereka harus dicantumkan huruf "DI" sebagai tanda dari  perkumpulan ini. Anggota Dienaren van Indie yang paling mencolok  kiprahnya diantaranya adalah Mohammad Tabrani, tokoh Jong Theosofen  (Pemuda Theosofi) yang menjadi penggagas Kongres Pemuda Indonesia  pertama pada 1926. Kongres ini diselenggarakan atas biaya kelompok  Freemason dan diadakan di loji milik Freemason di Batavia. Loji ini juga  sering dijadikan tempat berkumpul para anggota Theosofi, mengingat dua  organisasi ini memiliki kesamaan tujuan, yaitu menjadikan paham  humanisme sebagai doktrin tertinggi dalam kehidupan. Pada masa lalu,  kebanyakan mereka yang menjadi anggota Theosofi, juga menjadi anggota  Freemason. 
 
Sosok yang paling menarik perhatian dari anggota perkumpulan  Dienaren van Indie adalah Mohammad Hatta. Dalam buku "Gerakan Theosofi  di Indonesia" penulis menyatakan, Hatta setidaknya pernah bersentuhan  dengan organisasi ini atau setidaknya berusaha dijerat untuk masuk  sebagai anggota Theosofi. 
 Hatta bersentuhan dengan Theosofi dalam arti beliau pernah menjadi  anggota Dienaren van Indie dan mendapat beasiswa dari perkumpulan ini.  Persentuhan Hatta dengan Theosofi melalui tokoh bernama Ir. P Forunier  dan Ir. A.J.H van Leeuwen. Sedangkan mengenai usaha menjerat Hatta masuk  sebagai anggota Theosofi bisa dilihat dari buku otobiografinya. Dalam  buku berjudul, "Mohammad Hatta untuk Negeri" ia menuliskan pengalamanya  yang berusaha dibujuk masuk untuk menjadi anggota Theosofi. 
 Dalam buku biografinya, Mohammad Hatta menulis sub bab tersendiri,  berjudul "Bujukan Theosofi". Hatta menulis, "Hubunganku dengan Ir.  Fournier dan Ir. Van Leeuwen ada pula sejarahnya. Selama aku belajar  pada PHS (Prins Hendrick School) di Batavia dan menjadi anggota pengurus  JSB (Jong Sumatrenan Bond), mereka berdua itu selalu mendekat  pemuda-pemuda yang menjadi pengurus Jong Java dan Jong Sumatranen Bond.  Mereka yang berdua itu banyak sekali menganjurkan supaya pergerakan  pemuda yang bersifat kedaerahan perlu bersatu menjadi Jong Indie.  Sebagai contoh dikemukakannya gerakan pemuda di India yang bernama Young  India. Sekaligus mereka juga mengajak aku untuk menjadi anggota  Theosofi. Sepanjang pengetahuanku, yang kena jerat mereka ialah Basuki  dari Jong Java dan Amir dari Jong Sumatranen Bond. Mungkin juga Muhammad  Yamin terkena. Aku menolak terus terang, dengan alasan aku taat kepada  Islam."demikian tulis Hatta dalam memoarnya. 
 Meski Hatta sudah menolak ajakan masuk sebagai anggota Theosofi, ia  terus dibujuk dan diyakinkan agar bisa bergabung dalam organisasi ini.  Ia menulis, "Ir. Fournier mengatakan, agama Islam tidak menjadi halangan  untuk menjadi orang Theosofi. Theosofi bukan agama katanya, melainkan  ajaran dan Theosofi memperkuat pendirian Islam untuk mencapai  persaudaraan bangsa-bangsa di dunia ini. Tetapi aku terus menolak.  Rupanya telah mendapat persetujuan, antara Ir. Fournier, Ir. Van  Leeuwen, Amir dan Basuki untuk mengadakan suatu organisasi pemuda baru  dengan nama Dienaren van Indie, disingkatkan dengan "DI"", tulisnya  lagi. 
 Demikianlah, Gerakan Theosofi mempunyai beragam cara untuk bisa  merekrut orang-orang pribumi. Mereka membentuk kelompok-kelompok  diskusi, organisasi-organisasi kepemudaan, lembaga riset ilmu  pengetahuan dan seni budaya, serta memberikan beasiswa. Tokoh-tokoh yang  disebutkan di atas, pada perjalanan selanjutnya menjadi elit-elit  nasional, yang merumuskan, membangun, dan menentukan arah perjalanan  bangsa ini pada waktu itu. Ironisnya, elit-elit modern Indonesia pada  masa lalu itu adalah mereka yang pernah bersentuhan bahkan bergabung  menjadi anggota Gerakan Theosofi. Rekam jejak mereka yang memarginalkan  kepentingan umat Islam pun sangat kentara. Tak heran, jika sampai saat  ini, negeri ini masih berada dalam sistem pemerintahan sekular, karena  sejak ratusan tahun lalu, doktrin-doktrin yang menihilkan peran agama  dalam sistem pemerintahan sudah dijalankan melalui organisasi-organisasi  pengusung humanisme sekular, diantaranya Theosofi. 
 Meski lepas dari bujukan untuk masuk sebagai anggota Theosofi,  namun Mohammad Hatta terus didekati oleh tokoh-tokoh Theosofi. Bahkan,  atas jasa tokoh Theosofi ia mendapat beasiswa di negeri Belanda. Lalu,  mengapa Hatta masuk dalam perkumpulan Dienaren van Indie yang dibentuk  oleh Theosofi? 
 Seperti diceritakan dalam tulisan sebelumnya, Mohammad Hatta  menolak bujukan Theosofi agar ia mau bergabung sebagai anggotanya.  Dengan dalih bahwa Theosofi bukanlah agama, melainkan sebuah perkumpulan  persaudaraan, tokoh Theosofi kala itu yang bernama Ir. Fournier terus  meyakinkan Hatta agar masuk dalam perkumpulan yang didirikan oleh Madame  Blavatsky ini. Untung saja Mohammad Hatta tak mau bergabung, dengan  alasan ia taat kepada Islam. Meskipun dalam perjalanan sejarahnya  kemudian, ketaatan Hatta terhadap Islam dipertanyakan, karena memberi  andil bagi terhapusnya Piagam Jakarta, yang merupakan tonggak awal  penegakkan syariat Islam di Indonesia. 
 Propaganda bahwa Theosofi bukanlah sebuah agama hanyalah kedok  belaka dari upaya merusak keyakinan agama-agama yang ada. Perhatikanlah  apa yang dinyatakan oleh salah seorang tokoh Theosofi, Annie Besant,  sebagaimana dikutip dalam Majalah Pewarta Theosofi Boewat Indonesia  tahun 1930. Ia menyatakan, "Kami berseru kepada kalian semua, marilah  kita bekerjasama untuk agama ketentraman, agama kenyataan, agama  kemerdekaan, di dunia kerajaan dari surga yang sejati, inilah kita punya  haluan..." 
 Pernyataan Annie Besant seolah bagus, bahwa Theosofi adalah  perkumpulan yang terdiri dari beragam agama yang bertujuan menyebarkan  ketentraman dan kemerdekaan. Namun, ujung dari semua itu adalah  menihilkan klaim keyakinan mutlak terhadap masing-masing agama. Selama  tiap agama mengabdi kepada ketentraman, persaudaraan, dan perdamaian,  maka pada hakikatnya semua agama sama. Inilah maksud dari propaganda  Theosofi itu. Kita digiring pada pemahaman bahwa semua agama sama benar,  dan tidak boleh ada yang merasa paling benar. 
 Senada dengan Besant, Madame Blavatsky yang mendapat julukan Sang  Guru dari para anggota Theosofi mengatakan bahwa Theosofi adalah The  Wisdom Religion (Agama Kearifan) yang berusaha menyatukan semua  agama-agama yang ada dalam sebuah "kesatuan hidup" yang selaras dengan  nilai-nilai kemanusian. Jadi, ukurannya adalah nilai-nilai kemanusiaan,  yang menjadi doktrin tertinggi dalam pengabdian hidup Theosofi. Karena  itu, pada akhirnya, semua ajaran agama yang tidak selaras dengan  nilai-nilai kemanusian, tidak sesuai dengan konvensi internasional,  mengancam persaudaraan antar bangsa dan lain-lain, harus dihapuskan.  Inilah tujuan sesungguhnya di balik pemahaman Theosofi itu. Karenanya,  apa yang dikatakan oleh Ir. Fournier kepada Mohammad Hatta bahwa  Theosofi justru akan menguatkan pandangan keislaman, itu hanya tipuan  belaka. Tepat sekali jika Hatta menulis sub bab dalam biografinya dengan  judul "Bujukan Theosofi", karena yang namanya bujukan terkadang  mengajak pada sesuatu yang di luar kenyataan. 
 Meski gagal membujuk Hatta masuk dalam perkumpulan Theosofi, namun  para propagandis Theosofi tak patah arang untuk mendekati Hatta.  Diantaranya dengan mengajaknya masuk dalam perkumpulan Dienaren van  Indie (Abdi Hindia), sebuah perkumpulan yang didirikan oleh para aktifis  Theosofi di Hindia Belanda kala itu. Beberapa peneliti tentang Gerakan  Theosofi dan Freemason, seperti Sejarawan Ridwan Saidi dan A.D  El-Marzededeq, menyebut Dienaren van Indie tak lebih dari kepanjangan  tangan organisasi Vrijmetselarij (Freemason) dan Theosofi. 
 Dalam Memoir Mohammad Hatta diceritakan, "Aku diundang menghadiri  suatu pertemuan, yang diadakan semalam sebelum aku berangkat ke Sumatera  Barat dan seterusnya ke negeri Belanda. Dari Jong Sumatrenan Bond,  selain Amir (Mohammad Amir, red) dan aku, diundang juga Bahder Djohan  dan Nazif. Beberapa orang dari Jong Java, selain dari Basuki, aku lupa  namanya. Malam itu juga, berdasarkan cita-cita persatuan, tolong  menolong dan persaudaraan, didesakkan berdirinya "Orde Dienaren van  Indie". Pada berdirinya Orde Dinaren van Indie itu diajarkan dan  dilaksanakan sekaligus ritual-ritual yang dilakukan pada pembukaan dan  penutupan rapat atau pertemuan. Pertemuan itu berlangsung sampai pukul  11 malam..." demikian cerita Hatta. 
 Dalam catatan otobiografinya di atas, Hatta menyebutkan bahwa pada  berdirinya perkumpulan Dienaren van Indie, diajarkan dan dilaksanakan  ritual-ritual. Apa ritual-ritual yang dimaksud? Mengingat Theosofi juga  mengajarkan okultisme (ilmu gaib), maka bisa jadi yang dimaksud  ritual-ritual itu adalah ritual khas Theosofi yang sangat klenik dan  berbau mistis. Karena Theosofi sangat kental dengan pengaruh ajaran  esoteris khas Yahudi, seperti Kabbalah. Ritual Theosofi dan Freemason  yang sangat mistis inilah yang kemudian pada masa lalu orang-orang  pribumi menyebut gedung tempat berkumpulnya dua organisasi ini sebagai  "Gedong Setan". 
 Mohammad Hatta, yang kemudian hari menjadi Wakil Presiden Republik  Indonesia pertama, memang lepas dari bujukan Theosofi. Ia kemudian  berangkat ke negeri Belanda untuk memperoleh beasiswa dari Van Daventer  Stichting (Yayasan Van Daventer), sebuah yayasan yang mengambil nama  seorang tokoh Politik Etis. Namun beasiswa itu gagal diperolehnya.  Sementara itu, Hatta menceritakan, "Aku juga menerima sepucuk surat dari  Ir. Fournier, kepala gerakan Theosofi di Indonesia. Ia akan datang pada  bulan Juli 1923 di Nederland dan ingin bertemu dengan aku. Bersama dia  akan datang juga Ir. Van Leeuwen. Itulah surat pertama yang ku terima  dari Ir. Fournier selama dua tahun aku berada di Eropa.." 
 Setelah kedua tokoh Theosofi yang dikenalnya sejak di Indonesia  tiba di negeri Belanda, Hatta kemudian menemuinya. Ia bertemu dengan Ir.  Fournier dan Van Leeuwen di Den Haag. Entah ada maksud tertentu atau  tidak, kedua tokoh Theosofi ini tak lelak mendekat Hatta. Setelah Hatta  menceritakan kegagalannya mendapat beasiswa dari Van Daventer Stichting,  Ir. Van Leeuwen kemudian mengusahakan beasiswa bagi Hatta sampai  benar-benar ia memperolehnya. Alhasil, atas usaha Van Leeuwen, Hatta  mendapat beasiswa selama tiga tahun. 
 
Mohammad Hatta memang lepas dari bujukan Theosofi, namun ia tidak  bisa luput dari perhimpunan Dienren van Indie yang didirikan oleh para  aktifis Theosofi. Catatan Hatta berikut ini akan memberikan gambaran  kepada pembaca sekalian, bahwa Hatta adalah anggota Dienaren van Indie.  Hatta menceritakan perpisahannya dengan dua tokoh Theosofi, Ir. Fournier  dan Ir. Van Leeuwen, di negeri Belanda, dengan menulis, "Rupanya kami  tidak bertemu lagi sebelum mereka berangkat ke Indonesia. Lalu kami  bersalam-salaman secara persaudaraan, menurut dasar D.I (Dienaren van  Indie) dengan mengulurkan kedua belah tangan..." tulis Hatta. 
 Apa yang dimaksud oleh Hatta dengan bersalam-salaman secara  persaudaraan menurut dasar Dienaren van Indie? Apakah sama dengan jabat  tangan ala Freemason, mengingat Dienaren van Indie juga dibentuk oleh  aktifis organisasi ini? Perkara sepele ini menjadi pertanyaan besar,  mengingat Hatta adalah tokoh besar bangsa ini. Dan sejarah adalah  rangkaian peristiwa yang saling mengait, kemudian terhimpun menjadi  sebuah fakta sejarah. 
 referensi:
 -"Gerakan Theosofi di Indonesia"Artawijaya 
 - "Munculnya Elit Modern Indonesia" Robert Van Niels
 -"Teosofi, Nasionalisme dan Elit Modern" Prof. David Reeve
Bookmark this post:  | 
Agen Judi Online
BalasHapusAgen Bola Online
Agen Bola Terbaik
Agen Judi Bola
Agen Judi Kasino
Berita Bola
Berita Bola Terkini
Berita Bola Terupdate
Berita Terkini
Berita Terupdate
SLOT MANIA BERUPA RP 11 MILYAR!
BalasHapusPromo Akan Berakhir Di 31 Mei.
Segera Mainkan Dan Dapatkan Hadiah Anda!
Hanya Di Zeusbola
Deposit Murah!
CS Online 24 Jam
INFO SELANJUTNYA SEGERA HUBUNGI KAMI DI :
WHATSAPP :+62 822-7710-4607